Biografi Mochtar Lubis |
Setelah tamat HIS Sungai Penuh, Mochtar masuk sekolah ekonomi di Kayutanam pimpinan SM Latif. Seperti halnya dengan sekolah INS pimpinan M Syafei, juga di Kayutanam, murid-muridnya diajar mengembangkan bakat melukis, mematung, bermusik, dan sebagainya.
Mochtar sebentar jadi
guru sekolah dasar di Pulau Nias, kemudian pindah ke Jakarta. Di zaman Jepang
dia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio sekutu di luar
negeri untuk keperluan Gunseikanbu, Kantor Pemerintah Bala Tentara Dai Nippon.
Tahun 1944 dia menikah dengan Halimah, gadis Sunda yang bekerja di sekretariat
redaksi harian Asia Raja.
Pada tahun 1945 dia
bergabung dengan kantor berita Antara. Menjelang penyerahan kedaulatan pada
tanggal 27 Desember 1949, dia menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Indonesia
Raya. Tatkala pertengahan tahun 1950 pecah Perang Korea, Mochtar meliput
kegiatan itu sebagai koresponden perang.
Pada paruh pertama
dasawarsa 1950-an pers di Jakarta dicirikan oleh personal journalism dengan
empat editor berteman dan berantem, yaitu Mochtar Lubis (Indonesia Raya), BM
Diah (Merdeka), S Tasrif (Abadi), dan Rosihan Anwar (Pedoman).
Yang paling militan di
antara empat sekawan tadi ialah Mochtar Lubis. Tahun 1957 dia dikenai tahanan
rumah, kemudian dipenjarakan. Semuanya selama sembilan tahun sampai tahun 1966.
Sebagai wartawan, dia
bikin berita gempar pada berbagai afair. Pertama, afair pelecehan seksual yang
dialami Ny Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan
Kementerian P & K. Bosnya tidak saja mencoba merayu Yanti, tetapi juga
mengeluarkan kata-kata seks serba "seram". Kedua, afair Hartini
ketika terungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga
yang mengakibatkan Ny Fatmawati marah dan meninggalkan istana. Ketiga, afair
Roeslan Abdulgani. Menurut pengakuan Lie Hok Thay, dia memberikan uang satu
setengah juta rupiah kepada Roeslan yang berasal dari ongkos mencetak kartu
suara pemilu. Akibatnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Roeslan Abdulgani yang
hendak pergi menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez mau
ditahan oleh CPM tanggal 13 Agustus 1956, tetapi akhirnya urung berkat
intervensi Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjojo.
Setelah Indonesia Raya
tidak lagi terbit, tahun 1961 Mochtar dipenjarakan di Madiun bersama mantan PM
Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio
Sastrosatomo, dan lain-lain. Semuanya dinilai sebagai oposan Presiden Soekarno.
Tahun 1968 Indonesia
Raya terbit kembali. Mochtar melancarkan investigasi mengenai korupsi di
Pertamina yang dipimpin Letjen Dr Ibnu Sutowo. Utang yang dibikin Ibnu Sutowo
di luar negeri mencapai 2,3 miliar dollar AS. Ia diberhentikan oleh Presiden
Soeharto.
Ketika terjadi
peristiwa Malari, Januari 1974, para mahasiswa mendemo PM Jepang Tanaka, Pasar
Senen dibakar, disulut oleh anak buah Kepala Opsus Ali Moertopo. Soeharto jadi
gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, antara lain
Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Setelah bebas lagi bergerak pasca-G30S/PKI,
Mochtar banyak aktif di berbagai organisasi jurnalistik luar negeri, seperti
Press Foundation of Asia. Di dalam negeri dia mendirikan majalah sastra Horison.
Ia menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang menerbitkan buku-buku bermutu.
Selain sebagai
wartawan, Mochtar juga dikenal sebagai sastrawan. Pada mulanya dia menulis
cerita pendek (cerpen) dengan menampilkan tokoh karikatural Si Djamal. Kemudian
dia menulis novel, seperti Harimau Harimau, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada
Ujung, dan Berkelana dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk
jurnalistik dan kesusastraan.
Sebagai orang yang
memiliki banyak bakat, tidak heran bila Mochtar pandai melukis. Ketika ditahan
di penjara Madiun, dia menjadi perupa. Sebagai budayawan, dia aktif dalam
berbagai kegiatan di Taman Ismail Marzuki. Dia anggota Akademi Jakarta sedari
semula hingga sekarang.
Tak perlu ditambahkan
bahwa dalam kehidupannya dia membuktikan berjiwa dan berperan sebagai pahlawan,
seperti pahlawan kebebasan pers, pahlawan berkreasi. Sesungguhnya dia dapat
disebut 5-wan, yakni wartawan, seniman, sastrawan, budayawan, dan pahlawan.
Karena Mochtar dihargai
sebagai pahlawan yang berjuang untuk cita-cita dan berani memikul
konsekuensinya, seperti mendekam dalam penjara bertahun-tahun lamanya, paling
tidak orang-orang di kampung halamannya, di Mandailing, memberikan sebutan
kehormatan kepadanya. Menurut putranya, Ade Armand Lubis, tatkala Mochtar
beserta istri dan anak-anaknya pulang kampung, di sana dia dinyatakan sebagai
Raja Pandapotan Sibarani Sojuangan. Adapun Raja Pandapotan itu gelar Mochtar.
Sibarani dan Sojuangan adalah orang yang berani dan berjuang.
Penamaan lain diberikan
oleh Dr Mochtar Pabottingi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ketika
Mochtar merayakan hari ulang tahun ke-80, seorang pembicara, yaitu Mochtar
Pabottingi, menamakan Mochtar Lubis person of character, insan yang berwatak.
Di negeri kita sekarang makin langka person of character itu. Bung Hatta di
zaman pendidikan nasional Indonesia awal tahun 1930-an suka menyerukan agar
tampil manusia-manusia yang punya karakter.
Ketika tahun 1973
diusulkan oleh panitia yang diketuai Jenderal AH Nasution supaya kepada tiga
wartawan pejuang dianugerahkan Bintang Mahaputra, yaitu BM Diah, Rosihan Anwar,
dan Mochtar Lubis, kabarnya Presiden Soeharto bertanya kepada Jenderal
Soemitro: "Mit, coba beri saya alasan, mengapa Mochtar Lubis harus dapat
Bintang Mahaputra".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar